Search

The Online Encyclopedia and Dictionary

 
     
 

Encyclopedia

Dictionary

Quotes

 

Amien Rais


Amien Rais (born 1944) is a prominent Indonesian politician, who led and inspired the reform movement that forced the resignation of the authoritarian ruler, President Soeharto, in 1998.

Amien Rais was born in Surakarta, Central Java, on 26 April, 1944.

Education:


External link

"Ini Kewajiban Moral, Intelektual, Keagamaan..." JADI bicara di depan Kongres atau tidak, Sabtu malam pekan lalu, 25 April, Amien Rais terbang ke Amerika Serikat. Ia memenuhi undangan Dewan Nasional Gereja-Gereja Kristus (NCC) di AS. Ia diminta berbicara tentang kasus hubungan antarumat beragama di Indonesia, dan kenapa sampai ada berita pembakaran gereja. Forum yang disediakan, mulanya, di depan anggota satu subkomisi Kongres, tanggal 29 April waktu setempat.. Tapi, sehari sebelum berangkat, Jumat pekan lalu, Amien mengaku mendapat telepon, acara tersebut dibatalkan oleh NCC, dan diganti dengan konferensi pers. Konferensi pers itu pun akan dihadiri oleh anggota Kongres, katanya. Menurut kabar dari NCC News, Amien dipilih karena ia dianggap tokoh yang memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia, meski ia adalah pemimpin Muhammadiyah, organisasi muslim beranggotakan--menurut berita itu--25 juta orang. Selain Amien, NCC juga mengundang enam tokoh Kristen dari enam negara dan kawasan (Rusia, Timur Tengah, Sudan, Pakistan, Cina, Kuba). Undangan kemudian bertambah dua orang, dari PGI, Indonesia, yakni S.A.E. Nababan, dan Joseph Pattiasina. Apa maksud NCC? Sudah sekitar setahun sebuah RUU diluncurkan oleh Kongres dan diperjuangkan untuk disahkan. NCC mendukung RUU tentang kebebasan beragama itu, tapi keberatan pada pasal penjatuhan sanksi bagi pemerintah yang dianggap tak becus menjaga kerukunan antarumat beragama (lihat Yang Disalahpahami Itu). Nah, kesembilan tokoh itu diminta memberikan penjelasan latar belakang konflik, hingga pasal sanksi bisa ditinjau lagi dan dihapuskan--atau keseluruhan RUU ini dibatalkan. Amien Rais menerima undangan itu karena ia menganggap sanksi buat satu pemerintah boleh saja, asalkan tak membuat rakyat sengsara. Kepada D&R ia menyatakan bahwa ia ingin agar orang Amerika tahu pembakaran gereja yang sebagian besar terjadi di Jawa, dan perusakan masjid di Timor Timur, lebih berkaitan dengan masalah kesenjangan sosial, bukannya masalah agama. Dan, kesenjangan sosial, menurut Amien, adalah tanggung jawab pemerintah. Maka, minimal, ia akan berjuang seandainya ada sanksi kepada Indonesia, sanksi itu tak sampai menambah sengsara rakyat yang sudah menderita karena krisis ekonomi kini. Berikut petikan wawancara R. Fadjri, wartawan D&R di Yogya, dengan Amien Rais soal undangan dari Dewan Nasional Gereja Kristus di AS.

Bagaimana Anda sampai menerima undangan dari Dewan Gereja Amerika untuk memberikan kesaksian? Asal mulanya teman-teman dari Bethesda Yogyakarta menghubungi saya secara pribadi. Mereka menanyakan apakah saya kira-kira dapat pergi ke Amerika untuk ikut dalam sebuah panel yang disusun oleh Dewan Nasional Gereja Amerika di depan Kongres untuk membahas RUU yang akan memberikan hukuman terhadap beberapa negara berkembang yang dianggap tidak becus menegakkan hak asasi manusia. Kemudian lewat Dr. Warsito Utomo yang kebetulan kolega dan tetangga baik saya, saya serta-merta mengatakan bersedia, mengingat masalah itu buat saya sangat serius. Setelah saya menyatakan bersedia, baru undangan resmi dikirim dari New York yang meminta saya memberikan kesaksian di depan Kongres. Undangan itu saya terima sekitar dua pekan lalu (pertengahan April). Terus terang saya belum tahu dan belum membaca seluruh draft RUU dari kedua anggota Kongres yang kebetulan keduanya dari Partai Republik (Mr. Frank Wolf dan Mr. Arlen Specter). Memang saya mendapat cuplikan dari RUU itu beberapa paragraf, isinya bahwa negara-negara yang membiarkan persekusi (tekanan dan penganiayaan) terhadap minoritas pemeluk agama diusulkan agar mendapat hukuman. Dalam kaitan itu Indonesia disorot sebagai sebuah negara yang juga cenderung sangat meremehkan hak universal itu. Setelah membaca beberapa paragraf RUU itu, saya makin tertarik dan punya komitmen untuk pergi ke Washington. Sebagai warga negara yang kebetulan beragama Islam, saya yakin bisa urun rembuk di depan Kongres Amerika. Saya tidak bisa menjamin urun rembuk saya cukup efektif. Tapi, saya gembira karena saya akan ditemani oleh dua tokoh Gereja Kristen Indonesia, Dr. S.A.E. Nababan, dan Dr. Joshep Patiasina. Saya sudah ke kantor PGI untuk menyetel agar tim Indonesia bisa memberikan kontribusi sebagus mungkin agar draft RUU itu, kalau toh tidak bisa digagalkan, bisa diubah sehingga tidak merugikan Indonesia. Apa yang akan Anda sampaikan di depan Kongres? Saya sudah merancang, kira-kira, pertama saya akan memberikan ekspose tentang fakta-fakta yang ada yang sejauh ini sudah saya peroleh--baik dari teman-teman LSM (lembaga swadaya masyarakat), BIA (Badan Intelijen ABRI), maupun dari PGI. Kedua, saya harus berdiri pada posisi sejujur dan seobyektif mungkin, dengan keyakinan bahwa tokoh-tokoh Kongres yang akan saya hadapi berpikir rasional dan mengetahui banyak fakta di Indonesia. Tidak ada gunanya saya mendramatisasi ataupun mendistorsi fakta-fakta yang ada. Saya juga ingin meyakinkan bahwa untuk memahami konteks Indonesia hendaknya jangan menggunakan perspektif Amerika. Cetakan roti Amerika tidak bisa membuat kue lapis atau semar mendem. Dalam konteks ini, Indonesia adalah negara berkembang yang sangat majemuk dalam hal agama, suku, ras, dan tradisi, berbeda dengan Amerika yang sudah sedemikian makmur, dan sudah mengenyam demokrasi lebih dari 220 tahun. Saya berharap mereka punya simpati dan empati. Saya akan tekankan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersedia untuk selalu belajar memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Kenapa Anda kemudian merasa memberikan kesaksian ini penting? Jika hukuman berupa embargo ekonomi diterapkan, bukan cuma memperuwet masalah yang sedang kita hadapi sekarang. (Biasanya) negara-negara yang sudah kena embargo menjadi berantakan, dan terjadi juga ketegangan antaragama dan antaretnik yang selama ini secara bersama-sama kita hindari. Langkah yang menjurus pada penghukuman sangat tidak produktif dan bahkan dalam jangka panjang akan destruktif. Dalam kaitan ini memang sering dalam diplomasi internasional kaum cendekiawan memberitahu kepada negara-negara besar, kalau toh mau menghukum pemerintah yang dianggap menyeleweng dari hak asasi manusia, jangan dengan cara menghukum rakyatnya juga. Embargo yang diterapkan pada pemerintah Saddam Hussein, yang mati adalah anak-anak, orang tua, dan puluhan ribu rakyat Irak yang tak bersalah. Kalau toh mereka tidak suka kepada Soeharto yang sudah terlalu lama di kursi kekuasaan, tentu caranya tidak dengan melakukan pengobrak-abrikan moneter kita sehingga rakyat menjadi ter-meheh-meheh. Memang, ini dilema yang kita hadapi, tapi tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Saya akan mengimbau dua tokoh Kongres tadi agar mau surut dari keinginannya setelah mendengarkan keterangan dari tim Indonesia. Tugas yang akan Anda lakukan ini tampaknya kan tidak main-main, dan risiko kalau gagal akan menyeret kredibilitas Anda juga…. Tentu. Saya tahu tugas ini memang cukup berat. Saya khawatir bahwa semuanya itu sudah merupakan kesimpulan yang sudah dipatok. Kedatangan saya dengan dua tokoh Kristen tadi hanya merupakan formalitas yang harus dipenuhi agar kelihatan (keputusan itu) obyektif dan akomodatif. Tapi, saya tetap merasa bahwa ini merupakan kewajiban moral, kewajiban intelektual, dan kewajiban keagamaan untuk menerangkan yang terjadi di Indonesia kepada orang asing sebagaimana adanya, dengan perspektif yang kita yakini. Dengan kata lain, saya akan berjuang sebaik mungkin. Adapun hasilnya, wallahualam. Saya pergi tanpa beban. Saya akan berbuat yang terbaik, dengan kejujuran, kearifan, dan sikap realistis, dan hasilnya saya serahkan kepada Tuhan. Andaikata dengan tuntutan yang demikian meluas dan harapan yang sedemikan besar dari kalangan agama tapi RUU itu tetap disahkan, dan kemudian dibawa ke PBB, lantas Indonesia terpojok, itulah nasib kita. Selain risiko ekonomi, apakah ada risiko lain bagi Indonesia dengan hukuman embargo itu? Tentu. Selain ekonomi kita menjadi hancur-hancuran, yang saya khawatirkan adalah ketegangan antarumat beragama otomatis muncul. Akan terjadi saling tuding-menuding di antara umat beragama. Tiap-tiap umat merasa sudah menghindarkan masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) sejauh-jauhnya, tapi Amerika kemudian memaksakan kehendak dengan argumen SARA, maka logika itu bisa terbawa dan diikuti oleh banyak orang. Dengan begitu, yang muncul adalah saling curiga dan saling mengambil jarak--itu sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan bangsa kita. Tentang tuduhan SARA itu sendiri apakah betul? Tuduhan SARA itu pada kenyataannya jauh panggang dari api. Sebab, yang terjadi di lapangan itu sebuah ekses dari kebijakan nasional yang tidak bijak. Apakah ada pesan tertentu dari pemerintah RI? Sejauh ini tak ada pesan dari pemerintah. Kecuali saya dibekali data-data pembakaran gereja di Jawa Timur maupun kawasan Indonesia Timur lainnya dari Kepala BIA, Pak Zacky Makarim, yang memang saya kenal sejak ia menjabat kepala intelijen di Kodam Jaya dulu. Padahal, tentunya, pemerintah punya kepentingan misi Anda ini sukses... Memang. Tapi yang tertarik mengajak saya diskusi tentang hal ini hanya Profesor Muladi, Menteri Kehakiman. Yang lain-lain terpukau pada hal-hal konkret, dan kepergian saya ke Amerika dianggap sebagai hal yang abstrak, tidak ada kaitannya dengan krisis yang sedang marak di Indonesia. Niat saya ke Amerika itu, saya bismillah, niat saya baik dan tulus. Majalah D&R, 02 Mei 1998


another resources: http://www.tempo.co.id/ang/min/01/40/nas1.htm

http://www.rnw.nl/hotspots/indonesia/html/islam040699.html

Last updated: 09-03-2005 18:37:12